Lalu ketika kemarin gue lg khusyuk melihat Adia menikmati permainan odong odong keretanya, pada saat pergantian lagu, gue melihat seorang ibu yg memaksa untuk melepaskan seatbelt Adia pada odong odong itu karna ingin memasukkan anaknya ke tempat Adia duduk. Gue langsung setengah berlari menuju ke arah ibu itu.
"BU, ANAK SAYA DUA LAGU!" Kata gue sengit, dalam hati sini berantem sekarang dah yuk.
Ibu ibu itu hanya melengos pergi nggak mengindahkan gue, bahkan nggak meminta maaf karna sudah berusaha membuka paksa seatbelt Adia. Kereta odong odong pun berjalan lagi.
Pikiran negatif pun mulai berlomba lomba muncul di kepala gue, gimana kalo tadi gue nggak ada, Adia akan diangkat oleh ibu itu dan dibiarkan aja gitu ? Kok tega banget sih ibu itu? Mentang mentang dia seorang dewasa yang merasa punya kekuatan lebih besar dibandingkan anak anak yang tidak ada pelindung di sampingnya? Pikiran gue mulai sempit mengingat kejadian yang belakangan ini terjadi. Pedofil di sebuah sekolah TK international, Seorang anak dipukuli teman teman sekelasnya hingga meninggal dan masih banyak lagi sampai kadang gue nggak mau baca atau dengar lagi berita tentang masalah anak.
Tiba tiba gue berfikir.. pengen mengurung Adia di sebuah kastil aja, nggak tersentuh sama dunia luar. Biar dia nggak ngerasain sakit, jatuh, malu atau tersesat. Sebegitu cintanya gue sehingga gue rela... biar gue yang merasakan semua itu agar Adia nggak usah. Sebegitu posesifnya gue sehingga gue mau jadi garda terdepannya dia ketika ada yang ingin menyakiti dia.
Sampai gue lalu ingat, itu hidupnya dia. Itu pilihannya dia. Anak bukanlah milik kita, orangtuanya. Tugas gue 'hanya' membekali dia sampai dia mampu untuk terbang sendiri dalam kehidupannya. Tugas gue hanya untuk memberikan dia ilmu terbaik agar dia mampu mandiri dan memutuskan dengan kakinya sendiri, bukan dengan bantuan gue. Akan senang ketika dia berhasil, lalu pada saat dia gagal? tentu sedih, tapi bukan sedih karena kegagalannya. Sedih karena dia sedih... Gue juga bingung ternyata ada cinta sebesar itu ya :)
Kemaren juga sempat Adia mengikuti lomba menggambar di sekolahnya. Sebenernya Adia nggak terlalu suka menggambar. Tapi karena ini adalah acara yg diadakan oleh sekolah, maka mau nggak mau dia ikut juga. Gue dan Bagol mengantarnya.. Adia begitu gugup dengan ramainya orangtua lain yg datang dan berteriak menyemangati anaknya. (Gue? Ah yang penting Adia bersenang senang!)
Dari sorot matanya Adia kelihatan bingung. Bingung harus apa pada kegiatan yang dia nggak begitu suka.
Benar saja, ketika acara menggambar dimulai, Adia melihat kiri, melihat kanan, melihat pekerjaan gambar teman temannya satu persatu lalu menengok ke belakang dan kemudian sadar gue nggak ada (Adia melihat ke pojok kanan padahal gue ada di pojok kiri), air matanya mulai menetes. Nggak menangis, tapi air matanya menetes.
Lalu gue hampiri,
"Kenapa, nak?"
Adia buru buru menghapus air matanya.
"Enggak, enggak papa bu."
Betapa dia ingin beradaptasi dengan suasana yang ada, sehingga tanpa sadar air matanya keluar ketika melihat gue nggak ada di sampingnya. I know the feeling so well. I felt it too when i was younger once.
"Adia liat gambar Adia sendiri aja. Gambar yang lain belum tentu bagus kok. Buat Ibu, Gambar Adia yang paling bagus..."
"Iya." Jawab Adia pelan dan mulai mengambil krayonnya untuk menggambar.
Gue? lari mewek ke belakang. HAHAHAHA.
Bilang gue lebay, tapi serius deh, liat anak sedih itu bikin kita 10x lipet lebih sedih.
Maka dari itu mendidik anak nggak mudah.
I would give ANYTHING in this world so i could put a happy laugh in your face, Adia.
I would be there for you, ANYTIME if you want me to.
But i cant. I cant give you a temporary happiness so you cant stand on your own feet...
I pray that i always healthy to see you grow and fly away at the right time.
I pray that Allah always give faith in me so i can teach you right in HIS way.
I hope that i can love you all time until my breath takes me someday.
Grow and sail the world. Ill be here watching and proud.
Post a Comment